Tercatatsejak 2019, Kementan memfasilitasi bangunan pengering solar dryer dome kepada pelaku usaha pengolahan yang selama ini masih menggunakan metode pengeringan tradisional, seperti pengeringan di lahan kosong, maupun di pinggir jalan dekat hunian petani. Tujuan pemberian bantuan ini supaya pelaku olahan hortikultura tidak lagi menghadapi tantangan kontaminasi dari debu, air hujan dan cahaya ultraviolet pada hasil olahannya.
- Solar Dryer Dome, teknologi pengeringan matahari dari Kementerian Pertanian Kementan mulai dirasakan manfaatnya oleh para petani. Salah satu petani yang merasakan manfaat penggunaan solar dryer dome adalah Mandi. Petani hortikultura asal Karangasem, Bali itu mengatakan, solar dryer dome sangat membantu dirinya dalam mengeringkan cabai. "Saya panen waktu mendung dan langsung dimasukkan ke dalam solar dryer dome, hasilnya cabai kering sampai bagian dalam, cabai tidak berjamur dan warna masih merah,” ujar Mandi seperti dituturkan oleh Lisda S Damanik, salah satu narasumber dalam webinar Teknologi Pengolahan Hasil Hortikultura Sistem Pengeringan Dengan Tenaga Matahari Solar Dryer Dome yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Dulunya, Mandi membutuhkan waktu 7-10 hari untuk mengeringkan cabai, itu pun ada yang busuk dan terbuang. Setelah menggunakan solar dryer dome, pengeringan hanya butuh waktu kurang dari 5 hari dan dengan tingkat kekeringan 90-100 persen. Baca Juga Diselidiki Sejak Lama, KPK Tegaskan Pengusutan Dugaan Korupsi Kementan Tak Ada Unsur Politik "Hasilnya bisa dimanfaatkan karena semua tidak ada yang busuk maupun terbuang," katanya. Lisda juga menekankan bahwa polycarbonate pada solar dryer dome ini sangat berperan penting untuk menjaga mutu hasil hortikultura yang dikeringkan. “Keunggulan solar dryer dome ini umur produk lebih lama, aroma produk tetap kuat, rasa produk tidak hilang dan yang paling penting mutu berkualitas.” Perlu diketahui, pengeringan banyak dilakukan pada olahan pertanian semisal produk hortikultura dengan cara mengurangi kandungan air. Tujuannya agar daya tahan produk hortikultura dapat terjaga lebih lama dengan kualitas yang baik. Pada umumnya, petani maupun pelaku usaha pengolahan hasil hortikultura di Indonesia melakukan pengeringan mengandalkan sinar matahari. Meskipun metode ini murah namun produk yang dikeringkan seringkali mengalami kerusakan besar yang disebabkan oleh hujan, serangga, burung dan jamur. Baca Juga Kekuatan Pertanian Penting Bagi Negara, Syahrul Yasin Limpo Tekankan Pengembangan Teknologi Karenanya, di bawah Menteri Pertanian Mentan, Syahrul Yasin Limpo, Kementan selalu berusaha merancang program yang berpihak kepada para petani, termasuk petani holtikultura. Tercatat sejak 2019, Kementan memfasilitasi bangunan pengering solar dryer dome kepada pelaku usaha pengolahan yang selama ini masih menggunakan metode pengeringan tradisional.
PembangunanSolar Dryer Dome Tender Ulang Nama Paket: Pembangunan Solar Dryer Dome Tender Ulang: Unit: LPSE Provinsi Jawa Barat Tanggal: 05-Juli-2022 s/d 14-Juli-2022: Metode: Tender - Pascakualifikasi Satu File - Harga Terendah Sistem Gugur: Lokasi Pekerjaan: Desa Panyindangan Kec. Cisompet, Desa Mekarmukti Kec. Cibalong, Desa Cirapuhan
Petani kopi di Dusun Ngarip Induk, Pekon Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, kini memiliki alat pengering kopi bersumber tenaga matahari. Alat bernama solar dryer dome coffee ini berbentuk seperti kubah yang 100 persen energinya bersumber dari matahari. Dengan alat ini, kopi dapat kering dalam waktu 10 hari. Sebelumnya, masyarakat mengandalkan sinar matahari saja sehinga pengeringan kopi berlangsung hingga satu bulan. Kopi yang dijemur biasanya dijual petani Ulu Belu dengan harga antara – per kilogram. Sementara, dengan solar dryer dome harga jualnya meningkat hingga – per kilogram. Jam menunjukkan pukul empat sore WIB. Kabut disertai rintik hujan kecil mulai menyelimuti rumah Sugeng Widodo [44] di Dusun Ngarip Induk, Pekon Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, akhir Desember 2020 lalu. Jalan terjal, terdiri tanah dan batu dengan kemiringan sekitar 45 derajat, harus dilewati untuk sampai ke rumah Sugeng. Terkadang, hanya sepeda motor yang sudah dimodifikasi yang mampu mencapai kediamannya. Sugeng adalah petani kopi, namun ia menanam juga cabai, pisang, vanila, cengkih, dan durian. Dari hasil itu semua, lelaki ini mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Sore itu, Sugeng menyuguhkan kopi robusta hasil produksinya sendiri. Tercium aroma khasnya, nuansa gula aren. “Mau pakai gula atau tidak?,” tanya pria yang dipercaya menjadi Ketua Kelompok Tani Hutan [KTH] Margo Rukun, kepada saya. Sejak 2013, Sugeng mulai bertani kopi dengan teknik agroforestri di areal hutan kemasyarakatan [HKm]. Tergabung dalam KTH Margo Rukun, dia bersama petani kopi lainnya menggarap lahan seluas hektar. Kopi memang menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat di sini. Produksi rata-rata mencapai 800 kilogram hingga 1,2 ton per hektar. Kampung Sugeng, berada di ketinggian meter di atas permukaan laut [mdpl]. Curah hujan cukup tinggi. Hal itu sekaligus menjadi kendala petani untuk mengeringkan kopinya. Setiap kali panen, mayoritas petani menjemur di halaman rumah. Ada yang memakai terpal sebagai alas. Ada juga yang menggunakan para-para [rak penjemuran terbuat dari kayu atau bambu]. Menurut Sugeng, petani kopi di KTH Margo Rukun kerap kesulitan untuk mengeringkan kopi hasil panen. Energi panas yang bersumber dari matahari, masih menjadi tumpuan utama, namun, kopi lama kering karena sering hujan. “Biasanya bisa memakan waktu 25 – 30 hari,” katanya. Kondisi ini bisa berdampak pada menurunnya kualitas. “Kopi bisa rusak bila terlalu lama dijemur, apalagi terkena air hujan terus-menerus,” ujar Sugeng Baca Penjaga Bumi dari Lampung Barat Perhutanan sosial melalui skema hutan kemasyarakatan juga memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung. Foto Lutfi Yulisa Manfaatkan energi surya Marfuah [33], petani kopi anggota KTH Margo Rukun, juga mengaku kesulitan mengeringkan kopi hasil panennya. “Telat diangkat, kopi basah karena kehujanan,” katanya. Bahkan, kopi yang di jemur di atas tanah bisa berjamur. Beruntung bagi Marfuah dan kelompok tani hutan di desanya. Awal 2020, khusus KTH Margo Rukun dan Kelompok Simpan Usaha [KSU] Srikandi, mereka mendapat bantuan dua unit solar dryer dome coffee. Alat ini merupakan pengering kopi berbentuk seperti kubah yang 100 persen energinya bersumber dari matahari. Bantuan tersebut disalurkan oleh Ruko Kolaborasi [RuKo] -konsorsium pemberdayaan masyarakat dan lingkungan di Lampung- bekerja sama dengan WWF Indonesia melalui program Sustainable Renewable Energy [SRE]. “Dengan alat tersebut, kopi kering dalam waktu sepuluh hari,” ujar Marfuah. Baca Kopi Agroforestri, Cara Merawat Hutan Lampung Barat Inilah bentuk solar dryer dome coffee, tempat pengeringan biji kopi. Foto Derri Nugraha Alat ini menggunakan bahan polikarbonat sebagai dinding kubah. Bahan yang dapat menyerap panas matahari cukup baik. Sehingga, kopi cepat kering. Alat ini tentunya memanfaatkan panel surya untuk menyimpan energi matahari. Energi yang tersimpan digunakan untuk proses pengeringan pada malam hari, menggunakan panas dari cahaya lampu. Sehingga, pengeringan langsung 24 jam. Menurut pegiat RuKo, Zulfaldi, alat pengering kopi tenaga surya itu merupakan implementasi dari energi baru terbarukan. “Pada Januari 2020, ada pertemuan berbagai elemen yang bergerak di bidang energi terbarukan di Indonesia, berlangsung di Bogor. Hasil pertemuan itu muncul ide implementasi energi terbarukan dan RuKo memilih solar dryer dome coffee,” katanya. Selain itu, dome dinilai mampu meningkatkan kualitas kopi karena mempersingkat proses pengeringan. Zulfaldi berharap, kubah pengering kopi dapat menjadi model pengembangan produksi kopi di Lampung. “Semoga alat ini mendapat dukungan berbagai pihak,” ujarnya. Pengeringan biji kopi di dalam dome saat malam hari. Foto Dok. Sugeng Tingkatkan kualitas Penyerapan panas yang maksimal melalui alat tersebut, membuat kopi yang dijemur kering merata. Dome juga memiliki sensor suhu dan blower angin. Saat suhu melebihi batas pengeringan, antara 45 sampai 50 derajat Celcius, blower otomatis hidup untuk mengurangi intensitas panas. Menurut Tugino [54], kopi yang dijemur dengan dome memiliki aroma dan warna berbeda dibandingkan bila dijemur di atas tanah. “Kalau dijemur biasa warnanya kepucatan, serta menyengat bau tanah. Menggunakan dome, warnanya kuning mengkilat, muncul aroma khas kopi Ulu Belu, seperti bau gula aren,” terangnya. Seiring meningkatnya kualitas, harga jual kopi pun naik. Tugino mengatakan, kopi yang dijemur biasa harganya antara – per kilogram. Sementara dengan dome harganya mencapai – per kilogram. “Petani mulai pintar, mengaplikasikan kopi petik merah untuk dijemur di dome,” katanya. Tugino berharap, alat ini dapat dikembangkan di Lampung. “Kami sangat terbantu, terlebih menggunakan energi matahari yang ramah lingkungan,” paparnya. Biji kopi yang dikeringkan dalam dome, terlihat cerah. Foto Derri Nugraha Produksi Sugeng bersama anggota KTH Margo Rukun, melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial [KUPS] pun telah memproduksi bubuk kopi dengan merek dagang “Kopi Hutan Lampung”. Tetu saja, teknik panen yang digunakan adalah petik merah yang lalu dikeringkan dalam dome. “Bahan bakunya selain punya sendiri, juga dari anggota.” Produk ini dipasarkan tidak hanya di Lampung tapi juga ke Jakarta, Tanggerang, Semarang, Bali, juga Medan. Harga jualnya per kemasan 200 gram. Untuk saat ini, produksi bubuk kopi baru sekitar 40-60 kilogram per bulan. “Kalau peningkatan produksi itu bisa. Namun, saat ini memperluas jaringan pemasaran dengan tetap mempertahankan kualitas produk, jauh lebih penting,” terang Sugeng. Produk bubuk kopi robusta hasil produksi Sugeng dan anggota KUPS [Kelompok Usaha Perhutanan Sosial]. Foto Derri Nugraha Dorong teknik agroforestri Ulu Belu dan sekitar, merupakan daerah hutan lindung yang lokasinya di wilayah hulu, sehingga kondisinya akan berpengaruh terhadap daerah hilir. Oleh sebab itu, agar kondisi hutan tetap terjaga, Dinas Kehutanan [Dishut] Provinsi Lampung mendorong petani setempat agar menerapkan budidaya kopi dengan teknik agroforestri. Teknik ini menggabungkan kopi dengan tanaman lain sebagai naungan, untuk menjaga fungsi hutan. Biasanya, menerapkan penanaman pohon dengan strata tajuk, mulai dari tajuk tinggi, sedang, dan rendah. “ Memang menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk mendorong petani menerapkan cara ini,” ujar Kepala Dinas Kehutanan, Yanyan Ruchyansyah. Menurut mantan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Batutegi itu, pihaknya mendorong petani di Ulu Belu untuk meningkatkan kualitas kopi. “ Jadi, fokus utama kami adalah peningkatan kualitas. Berapapun jumlah produksinya yang penting nilainya tinggi,” katanya. Selain menjaga fungsi hutan, penerapan agroforestri juga dapat menambah penghasilan bagi petani kopi. “Dengan teknik ini, harapannya petani bisa mendapat penghasilan tambahan dari tanaman lain. Sehingga, tidak ada lagi masa paceklik,” ujar Yanyan. * Derri Nugraha, jurnalis lepas yang minat pada persoalan lingkungan di Lampung. Aktif di AJI Bandar Lampung Artikel yang diterbitkan oleh YKtnZu.